Senin, 02 Desember 2013

Buku Harian yang Sangat Rahasia

Hermione tinggal dirumah sakit selama beberapa minggu. Ketika anak-anak kembali dari liburan Natal, desas-desus tentang ketidakmunculannya seru sekali, karena tentu saja semua mengira dia telah diserang. Begitu banyak anak yang datang kerumah sakit, berusaha mengintipnya, sehingga Madam Pomfey mengelurkan tirainya lagi dan memasangnya di sekeliling tempat tidur Hermione, agar dia tidak malu sebab dilihat anak-anak dengan wajah berbulu.
          Harry dan Ron datang menengoknya setipa malam. Ketika semester baru dimulai, mereka membawakannya PR setiap hari.
          “Kalau aku yang ditumbuhi kumis kucing, aku sih libur dulu belajarnya,” kata ron sambil meletakan setumpuk buku di meja di sebelah tempat tidur Hermione pada suatu malam.
          “Jangan bodoh, Ron, aku kan harus belajar supaya tidak ketinggalan,” kata Hermione tegas. Semangatnya sudah jauh lebih baik karena semua bulu sudah menghilang dari wajahnya, dan matanya dengan pelan-pelan sudah mulai kembali berwarna cokelat. “Kurasa kalian sudah mendapat petunjuk baru?” dia menambahkan dengan berbisik, supaya Madam Pomfey tidak mendengarnya.
          “Belum,” kata Harry muram
          “Aku begitu yakin Malfoy-lah orangnya,” kta Ron, untuk kira-kira seratus kalinya.
          “Apa itu?” tanya Harry, menunjuk badan keemasan yang mencuat dari bawah bantal Hermione.
          “Cuma kartu ucapan semoga cepat sembuh,” kata Hermione buru-buru, berusaha menjejalkannya supaya tidak kelihatan. Tetapi Ron lebih cepat darinya. Ron menariknya, membuka, dan membacanya keras-keras.
          “Untuk Miss Granger, semoga lekas sembuh, dari gurumu yang cemas, Profesor Gilderoy Lackhart, Order of Merlin Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes Senyum Paling Menawan Witch Weekly.”
          Ron mendongak, menatap Hermione jijik
          “Kau tidur dengan kartu ini di bawah bantalmu?”
          Tetapi Hermione tak menjawab, diselamatkan oleh kedatangan Madam Pomfrey yang membawakan obatnya untuk malam itu.
          “Si Lackhart ini cowok penjilat yang paling memuja diri sendiri atau bagaimana sih?” kata Ron kepada Harry ketika mereka meninggalkan kamar Hermione dan menaiki tangga menuju menara Gryffindor. Saking banyaknya PR yang diberikan oleh Snape, sampai-sampai Harry berpikir baru akan bisa menyelesaikannya kalau dia sudah kelas enam. Ron baru saja berkata dia menyesal tidak bertanya pada Hermione berapa buntut tikus yang harus ditambahkan ke dalam ramuan Pendiri Bulu Kuduk, ketika terdengar teriakan marah dari lantai atas mereka.
          “Si Filch,” gumam Harry, ketika mereka bergegas menaiki tangga dan berhenti, menyembunyikan diri, memasang telinga tajam-tajam.
          “Apakah ada anak lain yang baru diserang?” kata Ron tegang.
          Mereka berdiam diri, kepala mereka condong ke arah suara Filch, yang kedengarannya histeris.
          “... lebih banyak lagi pekerjaan untukku! Mengepel sepanjang malam, seperti aku tak punya cukup pekerjaan saja! Tidak, ini sudah kelewatan, aku akan ke Dumbledore ...”
          Langkah-langkah Filch menjauh dan mereka mendengar pintu ditutup keras-keras di kejauhan.
          Mereka menjulurkan kepala. Filch jelas baru saja berpatroli di tempat biasa ia berjaga. Mereka sekali lagi berada di tempat Mrs Norris diserang. Dengan tatapan sekilas mereka sudah melihat apa yang membuat Filch berteriak-teriak. Genangan air membasahi sampai setengah koridor, dan kelihatannya air masih merembes dari bawah pintu toilet Myrtle Merana. Sekarang setelah Filch berhenti berteriak-teriak, mereka bisa mendengar tangisan Myrtle bergaung dari dinding-dinding toilet.
          “Kenapa lagi tuh dia?” tanya Ron
          “Ayo kita lihat,” kata Harry, dan seraya mengangkat jubah sampai ke atas mata kaki, mereka menginjak genangan air menuju pintu yang bertuliskan “rusak”, mengabaikannya seperti biasa, dan masuk.
          Myrtle Merana sdang menangis kalau ia mungkin lebih keras dan lebih seru daripada biasanya. Kelihatannya dia bersembunyi di dalam klosetnya yang biasa. Toilet itu gelap karena lilin-lilinnya padam terkena siraman air yang telah membuat dinding dan lantai basah kuyup
          “Ada apa Myrtle?” tanya Harry.
          “Siapa itu?” deguk Myrtle sedih. “Mau melempar benda lain lagi padaku?”
          Harry berjalan melintasi air ke biliknya dan berkata,”Kenapa aku mau melempar sesuatu padamu?”
          “Jangan tanya aku,” teriak Myrtle, muncul dengan luapan air yang tercurah ke lantai yng sudah kuyup.”Aku disini terus, tak pernah mengganggu orang lain, dan ada orang yang menganggap lucu melemparku dengan buku ...”
          “Tapi kau kan tidak sakit kalau ada yang melemparmu dengan sesuatu,” kata Harry tenang. “Maksudku, benda itu akan langsung menembusmu, kan?”
          Dia telah mengucapkan hal yang salah. Myrtle melayang dan menjerit, “Biar saja semua melempar buku kepada Myrtle, karena dia tidak bisa merasa! Sepuluh angka kalau kau bisa melemparnya menembus perutnya! Lima puluh kalau kau bisa menembus kepalanya! Nah, ha ha ha! Permainan yang bagus sekali, menurutku tidak!”
          “Siapa sih yang melemparnya kepadamu?” tanya Harry.
          “Aku tak tahu ... aku sedang duduk-duduk di leher angsa, memikirkan kematian, dan buku itu jatuh begitu saja di atas kepalaku,” kata Myrtle, menatap mereka dengan marah. “Itu tuh bukunya, di sana, hanyut.”
          Harry dan Ron mencari di bawah wastafel, ke arah yang ditunjuk Myrtle. Sebuah buku kecil dan tipis tergeletak. Sampulnya hitam kumal dan basah kuyup seperti halnya segala sesuatu di dalam toilet itu. Harry maju untuk memungutnya, tetapi Ron mendadak menjulurkan tangan mencegahnya.
          “Apa?” kata Harry
          “Kau gila?” kata Ron. “Bisa berbahaya.”
          “Berbahaya?” kata Harry, tertawa. “Mana mungkin sih?”
“Kau akan heran,” kata Ron, yang memandang buku itu dengan takut-takut. “Beberapa buku yang disita Kementrian – Dad cerita padaku – ada yang bisa membuat matamu terbakar. Dan siapa yang membaca Soneta Penyihir, seumur hidup akan berbicara dengan gaya pantun jenaka. Dan ada penyihir tua wanita di Bath yang punya buku yang tak bisa berhenti dibaca! Terpaksa kau akan ke mana-mana dengan buku itu di bawah hidungmu, mencoba melakukan segala hal dengan satu tangan. Dan ...”
          “Baiklah aku paham,” kata Harry.
Buku kecil itu tergeletak di lantai, tak jelas buku apa, dan basah kuyup.
          “Yah, kita tidak akan tahu kalau kita tidak memeriksanya,” kata Harry, sambil berlari mengitari Ron dan memungut buku itu.
          Harry langsung melihat bahwa itu buku harian, dan tahun yang sudah memudar disampulnya memberitahu bahwa usianya sudah lima puluh tahun. Harry membukanya dengan bergairah. Di halaman pertama dia cuma bisa membaca nama “T.M. Riddle” yang tintanya sudah luntur.
          “Tunggu,” kata Ron, yang sudah mendekat dengan hati-hati dan melihat melewati bahu Harry.
          “Aku tahu nama itu ... T.M. Riddle mendapat penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun yang lalu,”
          “Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Harry keheranan.
          “Karena Filch menyuruhku menggosok trofinya kira-kira lima puluh kali waktu detensi itu,” kata Ron sebal. “Trofi itu yang kena muntahan siputku. Kalau kau menggosok lendir dari nama tertentu selama satu jam, kau akan mengingat nama itu juga.”
          Harry hati-hati membuka halaman-halamannya yang basah. Semuanya kosong. Tak ada bekas tulisan sesamar apa pun di halaman mana pun, bahkan “ulang tahun Bibi Mabel” atau “dokter gigi, setengah empat” misalnya, juga tidak ada.
          “Dia tidak pernah menulis apa pun disini,” kata Harry kecewa.
          “Kenapa ya ada orang yang ingin melenyapkannya dengan membuangnya ke dalam toilet?” tanya Ron ingin tahu.
          Harry membalik buku itu untuk memeriksa sampul belakangnya dan melihat nama sebuah agen surat kabar di Vauxhall Road, London, tercetak disitu.
          “Pastilah dia kelahiran-Munggle,” kata Harry, berpikir “karena dia membeli buku harian di Vauxhall Road ...”
          “Yah tak banyak gunanya untukmu,” kata Ron. Dia merendahkan suaranya, “Lima puluh angka kalau kau bisa melemparkannya menembus hidung Myrtle.”
          Tetapi Harry mengantongi buku harian itu.


Sumber: Harry Potter and The Chamber of Secret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar